PT ABT Ungkap Dugaan Penyerobotan Ribuan Hektar Lahan Konsesi dalam RDP DPRD Tebo

Tebo, Jambi – Dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) bersama anggota DPRD Kabupaten Tebo, perwakilan PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) menyampaikan laporan serius terkait dugaan penyerobotan lahan di wilayah konsesi mereka. Perusahaan menyatakan bahwa sekitar 2.000 hektar areal yang tercatat sebagai wilayah kerja mereka telah berubah fungsi menjadi perkebunan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki izin resmi.
Perwakilan PT ABT menegaskan bahwa areal tersebut bukan merupakan wilayah adat atau milik masyarakat, melainkan kawasan yang secara sah masuk dalam izin konsesi yang mereka kelola. Hal ini memunculkan persoalan hukum dan berpotensi memicu konflik sosial jika tidak segera ditangani.
Hasil RDP dan Langkah Bersama
Dalam forum RDP yang berlangsung terbuka, masyarakat dan unsur pemerintah sepakat untuk membentuk tim terpadu yang bertugas melakukan verifikasi lapangan dan inventarisasi lahan. Tim ini akan melibatkan unsur pemerintah desa, kecamatan, DPRD, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh lokal.
Ada beberapa poin yang menjadi kesepakatan bersama:
- Pemetaan ulang wilayah antara lahan konsesi dan area garapan masyarakat.
- Sosialisasi kepada warga selama satu bulan oleh pemerintah setempat untuk menjelaskan rencana inventarisasi.
- Larangan membuka lahan baru selama proses verifikasi berlangsung.
- Penyelesaian kasus hukum, seperti penahanan warga, agar dikaji ulang secara adil oleh instansi terkait.
- Hasil inventarisasi akan dilaporkan secara resmi kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten Tebo untuk menjadi dasar langkah hukum dan administratif selanjutnya.
Kritik terhadap Perusahaan
Meski PT ABT mengklaim sebagai perusahaan yang fokus pada restorasi hutan dan konservasi, sebagian masyarakat dan aktivis lingkungan menilai klaim tersebut bertolak belakang dengan praktik di lapangan. Mereka menuding bahwa perusahaan justru ikut menyulut ketegangan agraria di wilayah tersebut karena tidak transparan dalam pengelolaan konsesinya.
Beberapa aktivis menyebut bahwa tindakan perusahaan yang melakukan patroli dan melaporkan masyarakat ke aparat hukum justru memperkeruh suasana dan menjauhkan solusi damai. Mereka meminta agar pemerintah meninjau ulang perizinan perusahaan yang dianggap menimbulkan konflik horizontal.